Saturday, October 24, 2015

Renungan (2), 24/10/2015

Aku dikenal sebagai orang yang temperamental dan sedikit frontal dalam mengungkapkan apa yang kurasakan dan kupikirkan. Kata orang aku tipikal orang yang judes dan menakutkan. Wajahku tidak ramah; pelit senyuman. Diamku seolah lampu reklame yang menyala merah, terang benderang, dan memancarkan kata "Jangan mendekat." Kata-kataku pun dinilai menyakitkan hati. Aku dianggap orang yang mudah membenci.

Sedangkal itukah yang kalian lihat pada diriku? Marilah kutunjukkan.

Aku seorang perempuan yang lahir sebagai anak tengah dalam keluarga yang masih totok dan keras. Hampir 19 tahun hidupku saat ini kuhabiskan dengan ombang-ambing masalah keluarga; sakit hati dan tangisan--meski bukan aku yang disakiti secara langsung. Hampir 19 tahun hidupku aku berusaha tidak memberontak karena kesadaranku akan keadaan yang tidak mungkin memburuk. "Aku harus menjaga perasaan orang tuaku." pikirku sebagai anak yang berusaha berbakti pada keluarga. Aku dituntut untuk peduli pada keadaan sekitarku dengan mengabaikan kepentingan diriku sendiri; mengabaikan keadaanku sendiri.

Aku berusaha belajar rajin, meringankan beban orang tua. Namun yang ada aku tidak dihargai. Segala prestasiku dianggap tidak ada apa-apanya. Aku masih dikatai bodoh, payah. Segala pengetahuanku tidak berguna bagi mereka. Aku tidak cukup memenuhi ekspektasi mereka. Sebuah kesalahan kecil membuatku dianggap tidak lagi taat pada orang tua.

Perkara-perkara yang kuhadapi kusimpan dalam hati dan kurenungkan sendirian. Aku tidak punya seseorang atau tempat untuk membagi bebanku. Semua pikiran bak angin topan berpusar dalam kepalaku dan aku pernah hampir gila. Aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku dengan benar. Semua kekecewaan, kesedihan, kemarahan; hanya bisa kutangisi. Aku tidak dapat marah; marahku diam dan air mata yang mengalir deras. Perasaanku tidak valid bagi siapapun.

Kepekaanku terhadap keadaan di sekitarku membunuh hatiku secara perlahan.

Sedikit demi sedikit, bata demi bata, kubangun tembok tinggi karena aku tidak sanggup merasakan sakit hati di luar beban yang bisa kutanggung saat ini. Pernah suatu saat aku membuka secuil dari tembok bata itu untuk mencari kepedulian dari dunia luarku.

...

Kesalahan yang aku tidak pernah bisa bayangkan betapa besar penyesalan yang harus kutanggung. Aku muak dengan semua kebohongan itu. Hingga akhirnya aku sendiri merasa lebih baik aku berkata apa adanya dari pada membuai orang lain dengan bualan kosong tentang kebaikan, cinta, dan harapan.

Tembokku tidak lagi hanya dibangun dari batu bata.
Kini ia berubah menjadi benteng perlindunganku.
Aku begitu kecil dalam duniaku sendiri.

Aku punya sejuta sabar yang kalian tidak dapat bayangkan. Aku tidak dapat marah meski kadang nada bicaraku blak-blakan. Aku hanya berusaha jujur pada kalian daripada membohongi kalian dengan kata-kata manis karena aku tahu mengerti bagaimana rasanya dibohongi, setidaknya aku masih berusaha menjaga perasaan kalian dengan memilih kata-kata yang kugunakan, nada bicara yang sebisa mungkin kujaga agar tidak meninggi.
Tidak semua yang kalian lihat padaku seperti yang benar-benar kutunjukkan. Kalian hanya tidak tahu kisahku saja.

Seberapapun kalian berkata jangan nilai orang dari penampilan luarnya, kalian pun masih melakukannya.


Aku tidak lagi menuntut siapapun untuk memahamiku, itu telah menjadi caraku untuk menyeleksi siapa yang benar ingin tinggal dan berusaha mengenalku. Jika memang bukan kamu, kamu akan gugur dengan sendirinya.

Aku (berusaha) tidak peduli dengan apa kata kalian.
Sekarang aku sedang berusaha bangkit. Sayap-sayapku menguat.
Aku hanya belum menemukan keberanian untuk terbang mengangkasa.

2 comments: