Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Aku punya seorang kakak perempuan dan adik laki-laki. Saat tulisan ini di post, kakakku sedang menempuh pendidikannya di perguruan tinggi swasta semester ke 5 sedangkan adikku duduk di bangku kelas 2 SMA.
Keluarga kami pas-pasan. Ayah sudah tidak lagi bekerja karena usahanya tutup dan ibu harus banting tulang untuk membiayai kami. Dengan pinjaman ke sana kemari dan bantuan sanak saudara lain, kami masih dapat bertahan.
Sejak SMP aku sudah mulai berprestasi dalam berbagai lomba IPA. Biasanya, lomba yang kuikuti adalah lomba MIPA berkelompok dengan 2 orang temanku yang lain. Bersama-sama, kami selalu meraih juara 1. Hadiah yang kami dapat berupa trofi dan uang tunai yang kami bagi hasil bertiga. Dari situ lah aku mulai hidup semi-mandiri dengan membeli beberapa kebutuhan sendiri seperti makanan atau jajanan yang kuinginkan, jalan-jalan dengan uangku sendiri, beberapa pakaian yang notabene juga jarang kubeli, tas sekolah, pulsa serta handphone yang sekarang kupakai. Prestasi-prestasi tersebut juga membantuku untuk masuk ke SMA yang ternama di kotaku dengan uang sekolah yang cukup murah.
Namun, sejak usaha ayah tutup, keadaan pun cukup sulit karena dari yang biasanya aku masih mendapatkan uang jajan teratur dan terbilang banyak, aku harus berhenti mendapatkan uang jajan tersebut. Sejak di SMA pun semua menjadi sulit. Biasanya aku mampu beli buku atau bahkan dibelikan buku, tetapi keadaan berubah. Aku juga tidak berani meminta pada ibu kecuali keadaan benar-benar mendesak. Sekali pun ikut lomba dan menang, uang tersebut terpakai oleh ibu untuk keperluan yang mendesak. Intinya, semua serba sulit
Saat ini aku dalam usaha mencari penghasillan mandiri. Pikirku aku ingin mencoba mengajar les pelajaran; salah satu hal yang aku terbiasa lakukan. Namun, mencari murid les juga bukan perkara mudah.
Suatu hari, ayah sibuk mengumpulkan barang-barang yang tidak terpakai di rumah juga sampah plastik yang kami kumpulkan. Di rumah kami, kami memisahkan sampah plastik dan sampah basah yang ternyata berguna. Ayah menaikkan semua barang tersebut ke atas mobil pick-up satu-satunya milik kami dan meluncur pergi.
Sepulangnya ayah, ia segera masuk ke dalam rumah dan memberikan 3 lembar uang dan memintaku memberinya kepada kakak dan adikku dengan nada gembira. Aku terkejut ketika ayah memberiku uang tersebut karena ayah masih memberi uang seadanya meski ia juga memiliki utang dengan bank. Bukannya menyimpannya untuk membayar hutang, ia malah memberikan uang yang ia miliki pada kami.
Aku sungguh terharu dan tersadar bahwa begitulah orang tua. Ayah memang merupakan figur yang keras, tetapi ia masih berusaha sekeras yang ia mampu untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Ayah menyayangi kami sedemikian besarnya hingga ia memberi semua yang ia punya. Dan meski ayah tidak begitu menunjukkan kepada kami bahwa ia begitu menyayangi kami, ia masih berusaha. Ia tidak menunjukkan betapa terbeban pikirannya; meski kadang ia marah-marah tanpa alasan yang jelas ketika ia stress, ia tetap berusaha menunjukkan bahwa ia tidak apa-apa.
Hal ini membuatku bersyukur dan berpikir, aku harus lebih menyayangi ayahku di masa tuanya sekarang dan berjanji bahwa aku akan menjadi orang yang sukses dan anak yang berhasil membanggakannya.
Tuesday, August 4, 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment